ARchive
Logo

Tempat untuk Dikunjungi

Historical

Sejarah

Historical

Agama & Spiritual

Historical

Kuliner & Komersial

Historical

Kegiatan Acara

Tempat Bersejarah

Rumah Penghulu

Rumah Penghulu

Rumah Penghulu terletak di Jalan Basuki Rahmat Gang 6 No.974, dan dibangun pada tahun 1920-an. Bangunan berukuran 80 meter persegi ini terkenal sebagai Rumah Penghulu karena pemiliknya, Bapak Rodial, bekerja sebagai Penghulu. Menurut penduduk sekitar, Bapak Rodial adalah Penghulu pertama di Kampoeng Kajoetangan, dengan kantor di Kantor Agama di Gang 2 Jl. Basuki Rahmat.<br/><br/>Arsitektur lama yang otentik dan terawat dengan baik masih dipertahankan hingga sekarang, terlihat dari pintu utama dan atap pelana. Rumah 1870 memiliki bentuk persegi panjang yang memanjang ke belakang. Tidak ada perubahan signifikan pada keseluruhan struktur bangunan sejak awal, meskipun ada beberapa penambahan seperti sebuah toko di sisi bangunan dan sedikit renovasi pada tempat-tempat yang membutuhkan perbaikan. Pengunjung dapat menikmati suasana yang tenang di kursi yang tersedia di depan bangunan ini, dan merasakan nuansa sejarah yang kental dari masa lalu.

Rumah Jengki

Rumah Jengki

Rumah Jengki ini berada di sebelah Rumah Penghulu. Tepatnya di Jalan Basuki Rahmat Gang 6 No. 976. Sesuai dengan namanya, rumah ini mengusung gaya arsitektur Jengki. Gaya arsitektur Jengki adalah gaya modernis yang mulai berkembang di Indonesia pasca kemerdekaan. Salah satu ciri khasnya adalah variasi desain yang mencolok, seperti penggunaan kerawang sebagai ventilasi, kusen dan jendela yang tidak simetris. Berdasarkan survei, rumah Jengki ini termasuk salah satu rumah terluas di wilayah Kajoetangan.<br/><br/>Awalnya dimiliki oleh Hendarto, rumah ini kemudian beralih kepemilikan pada sekitar tahun 1960-an kepada HSM Ali, seorang warga negara India. Pada tahun 1968, dilakukan renovasi pada beberapa bagian rumah ini, namun tidak ada informasi tambahan mengenai renovasi yang dilakukan setelah itu.<br/><br/>Dulu rumah ini adalah bangunan klenengan, di mana separuh dari strukturnya terbuat dari tembok dan sebagian lainnya dari anyaman bambu. Kemudian, dibantu dengan arsitek dari Universitas Airlangga (Unair), yaitu Ir. Daryo, untuk merancang ulang rumah tersebut. Rumah Jengki baru-baru ini diubah menjadi tempat ngopi sekitar bulan Agustus 2023 setelah mendapat persetujuan dari keluarga yang masih tinggal di Rumah Jengki hingga saat ini.<br/><br/>Rumah ini memiliki luas sekitar 160 meter persegi dengan ciri khas pagar yang unik, seluruhnya terbuat dari kayu bambu. Atapnya berbentuk asimetris, yang menambahkan kesan arsitektur Jengki pada bangunan ini. Melintasi atau mengunjungi rumah ini terdapat atmosfer era 1950-an yang kental.

Rumah 1870

Rumah 1870

Rumah 1870 merupakan bangunan tertua yang dibangun pada tahun 1870. Dengan identitas sebagai bangunan atau peninggalan pada zaman kolonial Belanda. Rumah ini dinamai Rumah 1870 karena dibangun sekitar tahun 1870 oleh generasi pertama dari keluarga Bapak Nur Wasil. Terletak di Jalan Basuki Rahmat gang 6 No. 988. Rumah 1870 terletak di tengah pemukiman penduduk. Orientasinya menghadap ke arah selatan, menghadap jalan setapak yang berada di depan rumah. Jalan setapak tersebut merupakan satu-satunya akses menuju Rumah 1870.<br/><br/>Sejak dibangun, Rumah 1870 tidak pernah mengalami pemugaran atau renovasi besar, melainkan hanya perawatan dan pemeliharaan rutin, kecuali pada bagian kamar mandi. Awalnya, bangunan ini dihuni oleh orang Belanda asli yang tidak memiliki banyak anak. Oleh karena itu, rumah ini hanya memiliki satu kamar utama dan satu kamar untuk anak pemilik rumah.<br/><br/>Bangunan ini memiliki ukuran 8 x 11 meter persegi dengan atap dominan bermodel perisai. Fasad Rumah 1870 didominasi oleh garis-garis vertikal dan horizontal yang membentuk geometri dasar, seperti persegi dan segitiga. Atap terasnya dihiasi dengan ukiran kayu yang tersusun rapi, memberikan kesan unik dengan ornamen khas Betawi. Pintu rumah terbuat dari kayu yang kokoh, demikian pula dengan jendela-jendela besar di sisi kanan dan kiri rumah. Saat ini, Rumah 1870 difungsikan sebagai Basecamp Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis).<br/><br/>Di depan rumah, terdapat teras kecil yang dipagari dengan tembok. Elemen interior seperti ventilasi, jendela, dan pintu dari rumah ini sangat mencerminkan gaya rumah kolonial pada zamannya.

Rumah Rindu

Rumah Rindu

Rumah Rindu memiliki luas 78 meter persegi dan terletak di Jalan Basuki Rahmat gang 6 No. 177. Bangunan ini didirikan pada tahun 1950-an dan mengalami renovasi pada tahun 1960. Keluarga asli yang membangun rumah ini adalah keluarga H. Nur Rochim, dan saat ini masih dimiliki oleh generasi ketiga dari keluarga tersebut. Rumah ini mengusung arsitektur kolonial yang tercermin dari motif ventilasi, jendela, pintu, dan dindingnya. Ruang tamu rumah ini dipenuhi dengan perabot antik yang terawat, seperti radio, jam dinding, dan lampu gantung kuno.<br/><br/>Rumah ini memiliki kisah sejarah unik di baliknya. Awalnya, pemilik rumah, H. Nur Rochim, adalah seorang pembuat bakiak. Bakiak adalah sandal kayu yang terkenal dengan suara kerasnya saat digunakan. Nama 'Rumah Rindu' berasal dari sejarah awal rumah ini. Bakiak yang diproduksi oleh H. Nur Rochim memiliki merek 'Sandal Rindu', dan dari situlah nama 'Rindu' dipilih untuk rumah kuno tersebut. Bakiak Rindu sangat populer di Malang pada masa itu. Sayangnya, produksi bakiak keluarga tersebut tidak bertahan hingga sekarang.

Rumah Nyik Asiyah

Rumah Nyik Asiyah

Rumah Nyik Aisyah dibangun pada tahun 1920-an oleh H. Nawawi, yang merupakan pemilik pertama bangunan ini. Lokasinya adalah di Jalan Basuki Rahmat gang 4 No. 937. Bangunan seluas 85 meter persegi ini memiliki atap berbentuk pelana yang meruncing. Bentuk atap yang terlihat dari tampak depan rumah ini menggunakan bentuk atap limasan. Bagian tengah dari atap limasan terdapat atap pelana. Di depan ruang tamu terdapat teras yang dikelilingi oleh pagar tembok pembatas (balustrade). Pada awalnya, rumah ini digunakan sebagai pendopo dan merupakan rumah pertama di dekat makam Mbah Honggo.<br/><br/>Nyik Aisyah adalah anak dari keturunan Raden dari Ciamis bernama Hasan Taib, yang juga merupakan kolega dekat dari Mbah Honggo. Tetangga di sekitar Rumah Nyik Aisyah masih menjalin hubungan kekeluargaan dengan beliau. Arsitektur kolonial rumah ini terlihat dari elemen atap, angin-angin, jendela, dan pintunya. Hingga saat ini, bangunan ini belum pernah direnovasi sehingga semua bagian masih dalam keadaan asli sejak pertama kali dibangun.

Rumah Mbah Ndut

Rumah Mbah Ndut

Rumah Mbah Ndut dengan luas 8,5 x 17,5 meter persegi, terletak di Jalan Basuki Rahmat gang 4 No. 938. Bangunan ini didirikan pada tahun 1923 dan pemilik pertamanya adalah keluarga Mardikyah. Saat ini, rumah ini ditempati oleh keluarga Saadiyah, keturunan dari Mardikyah.<br/><br/>Arsitektur bangunan ini secara detail menunjukkan gaya kolonial yang kental, terutama pada elemen ventilasi, jendela, dan pintu. Atapnya berbentuk pelana runcing, yang merupakan ciri khas arsitektur zaman kolonial.<br/><br/>Rumah ini memamerkan perabot antik yang menarik dan sertifikat-sertifikat piagam yang terjaga dengan baik. Di ruang tamu bagian kanan, terdapat koleksi pigura yang memajang foto-foto nenek moyang dari keluarga Mardikyah, ijazah sekolah, dan piagam penghargaan. Salah satu piagam yang istimewa adalah Piagam Veteran, yang diterima oleh pemilik rumah atas jasanya sebagai pahlawan dalam perebutan bendera di Hotel Yamato. Piagam ini memiliki tanda tangan dari Bapak Presiden Soekarno.<br/><br/>Di bagian tengah ruang tamu, terdapat tiga benda sejarah yang dianggap keramat. Di sisi kiri adalah tongkat suci, di tengahnya adalah tombak, dan di sisi kanannya adalah keris warisan. Selain itu, terdapat juga radio kuno yang masih dilengkapi dengan kuitansi pembelian dan materai 1 rupiahnya. Radio ini dibeli di Toko Srikandi dengan harga Rp 6.900,00 pada tahun 1961.<br/><br/>Open space depan rumah tersebut cukup luas sehingga dapat difungsikan sebagai tempat duduk santai yang sekarang berubah menjadi sebuah cafe bernuansa kolonial Belanda dan juga dapat dimanfaatkan sebagai lokasi berfoto selfie.

Gubuk Ningrat

Gubuk Ningrat

Bangunan ini berlokasi di Jalan AR. Hakim II Nomor 1190. Rumah ini dibangun pada tahun 1964. Pemiliknya, yaitu keluarga Bapak Sahlan yang telah menempati rumah ini sejak tahun 1974 sampai sekarang. Gaya bangunan Gubug Ningrat mencerminkan citra bangsa Indonesia. Salah satu yang menjadi daya tarik bagi para wisatawan adalah sisi historis tentang peradaban bangunan Indonesia di era 1950-an. Dengan gaya arsitektur jengki, rumah ini masih mempertahankan batu pondasinya yang terlihat. Teralis dan jendela yang menggunakan jenis kaca es. Dari mahkota yang ada di bagian atas rumah yang berjumlah 5 tingkat ini menunjukkan bahwa pemilik rumah ini termasuk golongan saudagar. Sehingga rumah ini tampak mencolok dengan berbagai elemen gaya arsitektur kolonial yang terlihat dari ventilasi, jendela, pintu, serta ornamen batu pada bagian bawah rumah ini.<br/><br/>Saat ini bangunan Gubug Ningrat dimanfaatkan menjadi kedai kopi pada lantai 1 rumahnya. Rumah ini bukan semata tempat untuk menikmati kopi dan santapan lezat, namun juga sebagai pusat diskusi dan literasi bagi masyarakat luas. Minuman serta makanan yang disajikan pun sangat bervariatif. Penyuguhan masakan pedesaan yang tidak lepas dari lidah masyarakat Indonesia. Gubug Ningrat berkomitmen untuk memberikan kontribusi ekonomi, mendidik, dan memberi pengalaman belajar holistik bagi para pengunjung.

Rumah Jacoeb

Rumah Jacoeb

Rumah Jacoeb terletak di Jl. AR. Hakim II No. 1193. Gedung ini dibangun sekitar tahun 1920, diberi nama Rumah Jacoeb adalah karena pemilik pertamanya adalah Bapak Jacoeb. Ia mempunyai kegemaran yang besar terhadap seni lukis. Lukisan yang dihasilkan masih dipajang di dinding rumahnya. Lukisan itu setua rumahnya yang hampir berumur satu abad.<br/><br/>Sejak didirikan, rumah ini tidak pernah mengalami perubahan apapun, termasuk pada pagar depan rumah. Pada dinding terdapat plakat yang menyatakan tahun berdirinya rumah tersebut. Saat ini rumah tersebut dihuni oleh pemilik generasi kedua, yaitu Ibu Yurislim yang berusia 68 tahun. Arsitektur kolonial rumah ini tercermin pada elemen ventilasi, jendela, dan pintu. Dilihat dari atas, bentuk rumah ini sangat unik yaitu berbentuk segitiga. Dengan kusen pintu dan jendela dari kayu berwarna coklat, rumah itu makin membuat pengunjung seperti dibawa ke masa lalu. Satu spot yang menarik dari rumah itu adalah tempat duduk dari semen yang berada di bagian depan rumah.

Rumah Jamu

Rumah Jamu

Rumah Jamu terletak di Jl. AR. Hakim II No. 7. Dibangun sekitar tahun 1940-an, pemilik pertama adalah keluarga Esther. Rumah Jamu tepatnya dibangun pada tahun 1945 dan memiliki gaya arsitektur Jawa yang kental. Arsitektur kolonial pada rumah ini terlihat dari elemen ventilasi, jendela, dan pintu. Bangunan-bangunan ini sering kali menampilkan detail arsitektur, seperti jendela-jendela besar dengan kisi-kisi klasik dan pintu ganda dengan panel kayu.<br/><br/>Rumah ini pernah digunakan sebagai tempat pengobatan Shin She, yaitu pengobatan akupunktur atau kajian tradisi Tionghoa. Selain pengobatan Shin She, ada banyak obat herbal lainnya. Hal ini pula yang menjadi alasan mengapa rumah ini dinamakan Rumah Jamu. Hingga saat ini, Rumah Jamu masih menjual jamu atau obat-obatan tradisional.

Rumah Kartini

Rumah Kartini

Rumah Kartini memiliki sejarah yang unik. Pondasi rumah ini konon ceritanya merupakan campuran botol-botol kaca yang disusun sedemikian rupa. Rumah ini beralamatkan di Jl. Semeru I No. 1083. Dibangun sekitar tahun 1940 dengan pemilik pertama Mbah Sakinah dan Bapak Junprayitno yang berprofesi sebagai penjual ikan di pasar. Saat ini rumah berukuran 6x13 meter persegi tersebut ditempati oleh keluarga Ibu Kartini yang sekarang berusia 70 tahun. Dahulu rumah ini didominasi dengan material bambu pada dindingnya. Sekarang, Rumah Kartini telah mengalami perubahan pada dindingnya yang tidak lagi menggunakan bambu, tetapi diganti dengan pemanfaatan batu bata.